Assalamualaikum Warohmatullahi Wabaraokatuh
Terimakasih
Alloh Swt yang membuat saya menulis cerpenyang bisa dibilang sangat
minimalis ini. Sholawat dan salam tetap tercurahkankepada Rasulullah Saw
Berikut
ini adalah perbaikan dari cerpen Dandelion Kecil yang pernah saya buat
beberapa waktu yang lalu. Terimakasih untuk siapapun yang sudah membaca
dan memberikan sarannya. Makasih mas wahyu yang sudah mengingatkan saya
lewat komentarnya di cerpen dandelion 2 versi Juple sama mas rijal yang
biasanya sebagai konsultan.
Selamat Membaca :)
DANDELION KECIL (BENIH 1)
Tins
Sore itu angin berhembus sangat sejuk,membawaku menikmati keindahan
padang ilalang yang terbentang sejauh mata memandang. Pemandangan ini
yang sering aku nikmati ketika hari mulai petang dan langit mulai
memerah. Sungguh pemandangan khatulistiwa yang menenangkan hati.Aku
berbaring ditengah-tengah lautan putih kapas yang membuatku serasa
berada diantara gumpalan awan, bertemu burung-burung yang bermigrasi,
betapa indahnya.Hingga mataku tertuju pada sebuah bunga yang bersembunyi
dibalik ilalang, bunga putih yang berukuran kecil. Bunga dandelion. Aku
mengamati bunga itu diterbangkan oleh angin, dengan ikhlas biji-biji
bunga itu mengikuti kemana arah mata angin tanpa tahu dimana Ia akan
berlabuh, apakah di tanah subur? Ataukah di tanah yang gersang? Dandelon
itu mengingatkanku pada sebuah cerita beberapa tahun yang lalu. Sebuah
cerita sederhana yang menyadarkanku tentang arti keikhlasan,pengorbanan,
dan impian.
Cerita ini dimulai pada sepertiga malam saat aku
terbangun. Sebelum pagi menjemput, sebelum bulan separuh yang
seolah terbingkai jendela kamarku lesap ke peraduannya.
Seperti malam-malam sebelumnya aku berjalan menyusuri dinginnya lantai di
Panti Asuhan . Dengan mata sayup-sayup aku melewati lorong menuju
kamar mandi yang letaknya kurang lebih 8 meter dari kamar yang aku
tempati. Seketika kakiku berhenti melangkah saat telingaku mendengar isak
tangis dari sebuah kamar tidur. Aku mengenal suara itu, suara itu sudah
tidak asing lagi bagiku.Kubuka pintu kamar itu perlahan, terlihat
seorang gadis kecil duduk tersimpuh di atas sajadah mengenakan mukenah
putih sedang menangis terseduh mengahdap baitullah.
Itua dalah Tiara. Aku memanggilnya dengan lembut. Tapi tidak ada
jawaban. Aku memanggilnya sekali lagi dan tetap tidak ada jawaban. Ketiga
kalinya ku memanggil dan bertanya apa yang terjadi, gadis berlesung pipi
itu menoleh ke arahku, matanyayang berkaca-kaca memandangku lekat.
Sesaat aku terpaku melihatnya tetapi isakannya mampu menyadarkanku. Aku
berlari dan memeluknya erat.
“Buat apa Tiara hidup di dunia?Tidak ada yang sayang aku!” Bisik Tiara tertahan.
“Apa yang kamu katakan?”
“Impian, harapan, mimpi, semua itu bohong!”Nadanya tinggi.
“Tiara, apa maksudmu? Apa yang terjadi?” Aku semakinbingung.
“Mengapa? Mengapa semua terjadi?Mengapa? Aku.. aku..”
Tiara tidak sanggup melanjutkan kata-katanya, tenggorokannya tersekat.
Isaknya semakin meluap. Semakin derasair matanya semakin erat pula aku
memeluknya. Aku mencoba menggenggam tangannya yang sedingin es. Berusaha
mengirimkan sedikit kehangatan yang menyelinap diantara jemari-jemariku.
Tiara terdiam namun air matanya tetap mengalir dan terus mengalir. Baru
pertama kali aku melihat sosok Tiara si gadis kecil yang selalu ceria
kini meluapkan kesedihan yang begitu mendalam. Dengan sisa kekuatan
yang dimilikinya, Tiara mencoba mengumpulkan energi dan merangkai kata.
“Mbak,apa Tiara punya ibu? Lantas dimana ibu Tiara berada? Tiara ingin
kejujuran mbak. Apa benar yang dikatakan orang-orang bahwa Tiara pernah
dibuang? Apa itubenar?”
Akuter diam. Jantungku berdegup kencang.
“Mbak, kenapa diam? Jawab Mbak.Dimana ibu Tiara?”
Kalimatnya telah membekukan hatiku. Gadis kecil itu telah mengatakan
satu kata yang membuat keringat dingin mengguyur tubuhku. Satu kata yang
artinya begitu dalam melebihi dalamnya samudera, yang begitu tinggi
melebihi tingginya gunung. Ya, hanya satu kata yaitu “ibu”. Aku tidak
tahu apa yang harus akukatakan dan apa pula yang harus aku lakukan. Aku
terdiam mematung di depan seorang gadis kecil yang memandangku tajam,
setajam pisau yang menancap pada apel merah.Tiara melanjutkan
pekataannya.
“Tiara memang tidak punya
ibu. Tiara tidak pernah merasakan cara ibu mengobati lukaTiara saat
jatuh dari sepeda. Tiara tidak pernah merasakan ibu mencium Tiarayang
kata orang-orang ciumannya begitu hangat. Tiara tidak pernah
mendengarkan ibu mendongeng “Cinderella” atau “Rapunzel” sebelum Tiara tidur. Tiarat idak pernah… tidak pernah..”
“Tiara!”Aku memotong pembicaraan
Aku merasakan mataku basah. Sesuatu mengalir di rongga dada,
mendengar penyaksian seorang gadis kecil berumur 7 tahun yang selama
hidupnya tidak pernah melihat malaikat bernama ibu. Hati merasa teriris
tatkala mengingat pada suatu malam,Ia menggambar sosok ibu di atas
lantai dan Ia tidur di atas gambar itu tanpa beralaskan apapun. Pernah
pada malam lain Ia mengisi sepasang sarung tangan dengan kain dan
memelukan ke badanya sendiri hanya sekedar ingin merasakan pelukan
seorang ibu. Aku menghela nafas dalam-dalam. Sekali menyeka air mata.
“Tiara, bukankah kau masih mempunyaiMas Wahyu. Mas Wahyu telah bekerja keras untuk membahagiakanmu.” Hiburku
Degup jantungku yang keras mulai mereda.Ya,setidaknya Tiara masih
sedikit beruntung daripada anak-anak lain dipanti asuhanini. Mas Wahyu
adalah seorang yang selalu bekerja keras disaat yang
lain bermalas-malasan, seorang yang tangguh saat yang lain menyerah,
bahkan yang paling aku kagumi dia adalah seseorang yang masih mempunyai
mimpi disaat yang lain berhenti.
“Mas Wahyu bukan ibu”
“Tapi Ia selalu berusaha menyenangkanmu, menenangkanmu, memberimu cinta
dan kasih sayang, layaknya seorang ibu. Mas Wahyu jugalah yang
mengajarkanmu cinta dan kasih sayang. Bukankah Mas Wahyu juga yang
mengajarkanmu tentang impian.”
Tiara
kembali terdiam. Sesekali terdengar isakan darinya. Malam semakin malam.
Bulan separuh masih bertenggek santai seolah terbingkai jendela, dengan
semburat-semburat putih, seperti mengenakan mantel perak. Bintang masih
berserakan, mengotori langit dengan kemerlapnya. Kabut semakin pekat
dan dingin, sedingin hati Tiara.
“Impian?
Apa salah kalau Tiara yang yatim piatu ini punya impian. Tiara punya
banyak mimpi dan harapan, tapi apa bisa diraih? Kata teman-temanku di
sekolah, anak sepertiku tak pantas untuk bermimpi, yang harus Tiara
lakukan cuma meratapi nasib.” Suara patah-patah Tiara.
“Impian dan harapan bukan hanya dimiliki oleh orang-orang yang
tinggi, bukan hanya dimiliki orang-orang yang berpunya, bukan hanya
dimiliki orang-orang yang berdasi, Tiara. Kita mempunyai hak akan hal
itu”. Terdengar suara laki-laki muncul dibalik pintu.
Aku terpaku melihat bayangan dibalik pintu itu. Kemudian setelah
tersadar aku tersenyum. Itu adalah Mas Wahyu. Mas Wahyu tidak sengaja
melewati kamar itu dan mendengarkanku menyebut namanya.Hal itu
membuatnya ingin ikut larut dalam pembicaraan.
Seperti biasanya, Mas Wahyu berpakaian sederhana. Malam itu Ia
mengenakan kaos berwarna biru muda dan dalam balutan jaket tebal berwarna
hitam yang hitamnya mulai kusam. Rambutnya yang basah sedikit
acak-acakan. Senyumnya mengembang, tubuhnya tinggi besar dengan dada
bidang. Ia membawa sebuah kantong plastik yang isinya sudah bisa
kutebak.Pasti terang bulan rasa cokelat dengan sedikit taburan kacang
yang digoreng setengah matang. Memang setelah menerima gaji, Mas Wahyu
tak lupa membelikan makanan kesukaan Tiara. Pria berumur 21 tahun itu
menghampiri kami. Saling berpelukan dengan Tiara dalam waktuyang cukup
lama, melepaskan pelukan sebentar lalu saling memeluk lagi. MasWahyu
meletakkan Tiara di atas pangkuannya. Dengan manjanya Tiara bersandar di
bahu pria yang bekerja sebagai tukang bangunan 3 tahun silam
itu.Beberapa waktu kami tediam, tanpa suara. Yang terdengar hanyalah
desiran air kolam yang gemericik dengan riak-riak kecil yang letaknya
tepat di bawah jendela dan suara detik jam dinding bergambar Disnep yang
berada di sudut kamar. Kami hanya menatap satu sama lain. Sesekali aku
melihat ke luar jendela. Melihat kunang-kunang menari berirama didekat
pohon cemara yang tingginya sekitar 5meter.
“Mas Wahyu jadi teringat akan sebuah kalimat yang dipopulerkan oleh Thomas Fuller “Kalau bukan karenaharapan-harapan, maka hati pun akan mati””. Mas Wahyu memecah kesunyian
“Kata “mati”adalah representasi dari misteri, bukan?” Aku menimpali
“Ya benar. “Mati” adalah representasi dari misteri. Manusia tidak tahu kapan
ia akan menjadi bangkai dan kembali pada tanah. Tetapi karena ada kata
“harapan” mereka tetap mencoba bertahan dalam sebuah misteri itu.”
Aku mencoba mencerna kalimat yang diucapkan Mas Wahyu.Waktu terasa
membeku, angin pun mati. Awan mendung menggumpal di atas langit.Ku
mainkan jari-jari tanganku. Ruangan kembali senyap. Kini senyapnya
lebihlama.
“Jadilah pribadi yang tegar, Tiara”
Pandanganku kembali ke arah MasWahyu. Tatapannya sangat tajam namun
tidak menghilangkan karakternya yang penuh kelembutan. Sering aku melihat
tatapan seperti itu, sebuah tatapan yang memberikan sebuah keyakinan dan
kepercayaan. Mas Wahyu mencium kepala Tiaralalu menghirup nafas
panjang. Mengulang hal yang sama sebanyak tiga kali.Hingga akhirnya
meneruskan perkataanya.
“Berusahalah tegar
Tiara. Ikhlaslah menjalani hidup. Hidup adalah sebuah pengorbanan. Dengan
pengorbanan akan telahirlah impian. Berjanjilah pada Mas Wahyu bahwa
kelak seorang Tiara yang tiada pernah melihat sosok ibu mampu menjadi
orang yang hebat dan sukses. Jika tidak mampu menjadi batu karang
janganlah menjadi batu karang. Jika tidak mampu seharum mawar janganlah
menjadi mawar. Jika tidak bisa sehangat mentari janganlah menjadi
mentari. Cukuplah menjadi dandelion kecil. Ya, dandelion kecil” Mas Wahyu
tersenyum kecil, wajahnya berbinar.
Kami bertiga kembali terdiam.
Langit masih belum bosan memerah. Aku masih terbaring ditengah-tengah
lautan putih kapas yang membuatku serasa berada diantara gumpalan
awan,bertemu burung-burung yang bermigrasi. Lama aku memikirkan apa yang
dimaksudkan Mas Wahyu tentang “Dandelon kecil”. Tapi kini aku mengerti.
Dandelion kecil terlihat sangat rapuh saat dipukul angin, tapi Ia masih
berusaha tegar melawaan hempasan sang angin. Hidupnya sederhana,
saat merekah maka ikhlaslah biji-biji bunganya terbang tinggi, jauh,
melayang mengiringi langkah angin, Ia rela meninggalkan ibunya. Dandelion
kecil sosok yang sangat kuat,memiliki keberanian hebat untuk mencari
kehidupan baru di luar sana. Mampu terbang tinggi, menjelajah dunia luas
sampai akhirnya mendarat di tempat baru dan tumbuh menjadi sukma yang
baru. Dandelion kecil mengambil langkah yang beresiko dan pengorbanan
demi pencapaian impian hidup yang lebih baik bagi generasi selanjutnya.
♥♥♥♥♥♥♥- Sekian- ♥♥♥♥♥♥♥
Salam,
@nur_chayanti
Edisi kedua sudah dirampungkan oleh adek saya yang cantiknya tidak perlu dipertanyakan lagi karena memang jelas kebohongannya yaitu Aulia Azizah alias Juple, baca di
http://www.facebook.com/notes/zivanna-editia-agatha/dandelion-kecil-chapter-ii/10151404448237974
Buat juple, dandelion benih 3 katanya dibuat sama bella? tapi belum. Hehe. aku udah buat tapi prolognya sajjaaa..
Baiklah sekian dari saya
Salam dandelion :)
0 komentar:
Posting Komentar